Sabtu, 10 Januari 2015

Memahami Lukisan : Potret Keluarga (Hendra Gunawan)

"Potret Keluarga" karya Hendra Gunawan (1968)

Aku hanyalah orang biasa
Aku bukanlah orang yang berkuasa
Aku tak punya harta yang berlimpah
Hanya ada keluarga yang kucinta

Tak sadarkah kalian wahai sang penguasa
Yang kutahu hanyalah melukis
Tak ada niat untuk melukai apalagi menggulingkan kalian
Tapi mengapa kalian memperlakukanku seperti ini

Aku terpisah dari keluarga yang kucinta
Aku ingin pulang, aku merindukan mereka
Tapi apa daya, aku hanyalah 'kambing hitam' yang terjebak di kubangan
Aku terkurung, tertekan, dan terhina
Aku tak bisa apa-apa

Indahnya jika kami berkumpul bersama
Melihat anak-anakku tumbuh dewasa
Melihat istriku merawat mereka
Menghabiskan waktu bersama mereka

Kini aku hanyalah seorang pelukis kesepian
Aku punya keluarga tapi tak bisa bersama
Tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah
Semoga ini adalah jalan terbaik untukku



        Dalam lukisan di atas, terlihat Hendra Gunawan bersama istrinya, Karmini, di samping kanannya, kedua anaknya masing-masing di samping kiri dan di atas pundaknya, sedangkan wanita di samping istrinya, adalah Nuraeni, muridnya. Di belakang mereka terlihat kerumunan orang banyak, masing-masing berkumpul bersama keluarga mereka.
         Lukisan ini menggambarkan situasi saat hari kunjungan keluarga tapol (tahanan politik) di Kebon Waru, tempat Hendra Gunawan ditahan atas tuduhan seniman pencedera bangsa. Ia dituduh menyebarkan paham Marxisme dan Leninisme lewat seni rupa.
           Pada lukisan ini, terdapat banyak keluarga berkumpul bersama. Mereka terlihat sangat bahagia berkumpul bersama setelah sekian lama terpisah. Mereka bersuka cita menghabiskan waktu bersama seharian.
           Hendra melukis keluarga-keluarga yang menjadi latar belakang nampak sangat akrab antar anggota keluarga. Lihat saja, keluarga di sebelah kanan, si anak mengulurkan tangannya kepada ayahnya seolah-olah minta digendong, sementara si ayah dan si ibu saling memandang. Juga keluarga yang lain di sampingnya, si ayah menggendong di punggung anak perempuannya, sementara anak laki-lakinya menariknya di samping kirinya. Lain lagi dengan keluarga yang agak di tengah, mereka duduk di atas tikar seperti sedang piknik, si ayah dan anak perempuannya (tampaknya sudah dewasa) duduk berhadapan, sementara si ibu menyajikan beberapa piring makanan.
          Walaupun banyak keluarga pada lukisan di atas, tapi keluarga Hendra yang menjadi subjek utama. Kehangatan juga tampak jelas pada keluarga Hendra. Hendra berada di tengah, sedang duduk di atas batu (atau apalah benda berwarna gelap yang didudukinya) sambil menggendong anaknya yang kecil di pundaknya dan memegang kaki kanan anaknya. Anaknya yang besar berada di samping kirinya, merangkulnya sambil memegang lengan kirinya. Anaknya yang kecil digendong di pundak, memegangi kepala ayahnya sambil tersenyum manis. Istrinya, Karmini, berada tepat di samping kanannya, sedang berdiri tegak dengan tangan kirinya bertumpu di pundak kanan Hendra. Muridnya yang bernama Nuraeni berada di samping Karmini, berdiri agak santai sambil merangkul tangan Karmini.
           Jika kita melihat lukisan ini pada saat baru diselesaikan, maka keberadaan Nuraeni menjadi ganjil, karena kita menganggapnya 'bukan siapa-siapa'. Tapi, jika kita mengetahui siapa Nuraeni ini di masa yang akan datang, kita baru akan terdecak kagum sambil tersenyum. Nuraeni adalah istri kedua Hendra Gunawan yang dinikahinya beberapa saat setelah lukisan ini dibuat. Dia adalah seorang gadis belia yang menjadi tapol di Kebon Waru atas kepemimpinannya pada sebuah drumband yang dicurigai melakukan aktivitas pemuda-pemudi PKI. Di Kebon Waru ini dia bertemu dengan Hendra Gunawan yang kemudian mengajarinya melukis. Lewat lukisan "Potret Keluarga" ini pula Hendra mengisyaratkan keinginannya untuk menikahi Nuraeni.
         Secara teknik, Hendra melukis keluarganya dengan stroke yang lebih jelas daripada keluarga lainnya yang di belakang. Pemilihan warnanya juga kita bisa lihat, diri Hendra sendiri yang paling menonjol, paling beragam, dan paling mendetail daripada anggota keluarganya yang lain. Ini menunjukkan bahwa dirinya sendirilah yang merupakan subjek yang paling utama, sekaligus merupakan kepala keluarga. Ada pula beberapa area yang dilukisnya cukup mendetail, seperti pada sarung batik Karmini, yang mungkin berarti Karmini adalah 'tulang punggung' keluarga selama Hendra menjadi tahanan politik di Kebon Waru. Kita juga dapat mengartikannya bahwa Karmini adalah istri yang dicintainya, dihormatinya, dan disanjungnya. Rok Nuraeni juga cukup mendetail dengan corak wayangnya, tapi tidak sedetail sarung batik Karmini. Mungkin ini diartikan sebagai, Nuraeni adalah orang baru dalam hidupnya, Hendra juga mencintainya, tapi tidak sebesar cintanya kepada Karmini.
        Untuk warna kulit, ada beberapa area yang terlihat 'aneh' atau tidak biasa dari warna kulit yang sebenarnya. Yang paling menonjol adalah pada tangan kiri Hendra. Warna biru tua, hijau, hitam dan beberapa bintik merah yang tak biasa untuk warna tangan. Tangan kanannya juga agak kebiruan tapi tak mencolok. Bagian yang agak mencolok lainnya juga ada pada kedua kaki Karmini, yaitu warna biru dan abu-abu gelap, warna yang tak biasa untuk kaki. Begitu pula dengan kaki anak yang kecil, wajah kanan Hendra, tangan kanan Karmini, dan sebagian pada area leher Karmini. Sedangkan, pada kedua kaki Hendra yang berwarna gelap, mungkin itu adalah lumpur. Kebanyakan warna yang abnormal hanya terlihat pada 3 figur, Hendra, Karmini, dan anak mereka yang kecil. Entah apa artinya.
          Selain itu, Hendra melukiskan kaki para wanita menggunakan sandal, sedangkan para pria tak beralas kaki. Mungkin artinya, Hendra menjunjung tinggi para wanita. Wanita yang merupakan manusia yang lemah, lebih pantas mengenakan alas kaki dibanding para pria, yang memang lebih terbiasa dengan pekerjaan kasar.

Selasa, 16 Desember 2014

Memahami Lukisan : The Two Fridas (Frida Kahlo)

"The Two Fridas" karya Frida Kahlo (1939)


Kita berdua adalah satu
Kita sama-sama sekarat
Kita sama-sama menderita
Tapi kau lebih beruntung dengan cinta itu
Lihatlah diriku,
Lihatlah bagaimana maut mempermainkanku
Aku tak mau mati
Aku pun tak mau menderita lebih lama
Jika saja aku punya cinta seperti milikmu
Maka penderitaan ini tak akan ada artinya

             

            Frida Kahlo melukis dirinya menjadi 2 karakter pada lukisan ini. Karakter pertama yang di sebelah kanan adalah Frida Meksiko yang mengenakan kostum Tehuana. Di tangan kirinya, Frida Meksiko memegang sebuah jimat yang berisi potret Diego Rivera (suami Frida Kahlo yang juga seorang pelukis Meksiko). Frida melambangkan karakternya ini sebagai karakter yang dicintai Diego. Ini bisa dilihat dari jantungnya yang masih utuh dan juga jimat yang dipegangnya.
                Karakter kedua yang disebelah kiri adalah Frida Eropa yang mengenakan gaun pengantin Victoria yang berenda. Di tangan kanannya dia memegang klem (alat penjepit yang dipakai saat pembedahan). Karakter yang ini dilambangkan sebagai Frida “yang dicampakkan” oleh Diego Rivera.
                Maksud dari 2 karakter ini adalah menunjukkan darah kebangsaan Frida Kahlo. Seperti yang diketahui Ayah Frida adalah seorang fotografer berkebangsaan Jerman dan ibunya berkebangsaan Meksiko. Frida Meksiko melambangkan dirinya yang memiliki darah Meksiko, sedangkan Frida Eropa melambangkan dirinya yang berdarah Eropa. Frida Meksiko yang dilambangkan sebagai Frida “yang dicintai” mungkin berarti bahwa Diego Rivera lebih mencintai dirinya yang berdarah Meksiko. Sedangkan Frida Eropa “yang dicampakkan” berarti Diego Rivera tidak begitu menyukai darah Eropanya.
       Pada lukisan di atas terlihat kedua Frida saling berpegangan yang berarti mereka bersatu, merasakan hal yang sama, menghadapi masalah yang sama (penyakit kronis). Urat nadi dari kedua jantung mereka tersambung, juga menandakan bahwa mereka adalah satu dan tetap bersama. Ujung urat nadi yang lainnya terputus di sisi lainnya dan inilah yang menjadi masalah buat mereka. Mereka sekarat jika tidak menyumbatnya. Keadaan ini melambangkan diri Frida yang sesungguhnya yang memang sedang sekarat menghadapi berbagai penyakit fisiknya.
Yang membedakan keduanya adalah kondisi diri masing-masing. Frida Meksiko dengan jantung yang masih utuh telah berhasil menyumbat nadinya yang putus dengan bantuan sebuah jimat yang dipegangnya (ini berarti Frida Meksiko bisa bertahan dengan penyakit-penyakit kritisnya dengan bantuan cinta dari Diego). Sedangkan Frida Eropa, jantungnya mulai rusak. Dia juga berusaha menyumbat nadinya dengan bantuan klem, dan usahanya hanya sia-sia. (Frida dengan penyakit-penyakit kronisnya tetap sekarat walaupun sudah menjalani berbagai operasi).  Tak henti-hentinya darah bercucuran dari ujung nadinya yang putus. Ini adalah kondisi batin Frida saat tak lagi dicintai oleh suaminya, berusaha hidup yang membuatnya semakin sekarat.
Lukisan ini dibuat sesaat setelah Frida bercerai dari suaminya. Dia membandingkan dirinya sebelum dan setelah ditinggalkan oleh Diego Rivera. Dirinya sebelum ditinggalkan adalah Frida yang tegar, Frida yang kuat menghadapi penyakit-penyakit kronisnya. Sedangkan dirinya setelah ditinggalkan adalah Frida yang rapuh dan sekarat, bahkan berbagai macam operasi pun tak bisa menyelamatkannya dari penyakit kronisnya.

  
PAINS IN PAINTINGS
        Frida Kahlo adalah salah satu pelukis ternama yang berasal dari Meksiko. Karya-karyanya hampir semuanya terinspirasi oleh diri dan kehidupannya sendiri. Kebanyakan bercerita tentang tragedi dan rasa sakit yang dialaminya. “I’ll paint myself,” katanya, “because I am so often alone, because I am the subject I know the best.” (Saya akan melukis diriku sendiri, karena saya sangat sering sendiri, karena saya adalah subjek yang terbaik.)
      Frida Kahlo melukis dirinya dalam situasi-situasi yang mengenaskan. Rasa sakit fisik maupun mental yang dirasakannya dituangnya ke dalam lukisan. Frida menjelaskan rasa sakitnya itu dengan sangat sempurna, sehingga kita bisa memahami rasa sakitnya.
       Frida Kahlo menjalani kehidupan yang penuh rasa sakit. Pada usia 6 tahun, Frida terserang polio. Dia harus berbaring selama 9 bulan. Polio merusak kakinya hingga dia berjalan agak pincang.
Saat beranjak remaja, Frida pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Bus yang ditumpanginya bertabrakan dengan trem. Frida tertusuk pegangan baja pada pinggulnya hingga tembus ke belakang. Tentang ini Frida berkata, “The handrail pierced me as the sword pierces a bull.” (Pegangan menembus saya seperti pedang menembus banteng.) Pada masa pemulihannya, Frida mulai melukis. Dia menyelesaikan potret pertamanya pada tahun berikutnya, yang kemudian diberikan kepada Alejandro Gomez Arias, kekasihnya yang meninggalkannya saat itu.
Frida Kahlo bertemu kembali dengan Diego Rivera pada tahun 1928. Diego mendorong semangat melukis Frida, dan mereka pun memulai sebuah hubungan. Mereka menikah di tahun berikutnya. Mereka sering berpindah-pindah berdasarkan komisi yang diterima Diego.  Seiring waktu Diego mulai berubah. Dia sering berhubungan dengan wanita lain di belakang Frida, termasuk dengan adik Frida, Cristina. Menanggapi pengkhianatan keluarga ini, Frida kemudian memotong rambut hitam panjangnya.
Frida Kahlo juga telah mengalami beberapa kali keguguran. Pada tahun 1932, Frida mencurahkan rasa sakitnya dalam karyanya, Henry Ford Hospital, yang menceritakan tentang kisah kegugurannya yang kedua. Pada tahun 1934 dia keguguran lagi. Hingga pada tahun 1939 dia bercerai dengan Diego, dan mengungkapkan kesedihannya pada sebuah lukisan, The Two Fridas (lukisan yang dibahas di atas).
Anehnya, tak lama mereka bercerai, mereka kembali menikah pada tahun 1940. Namun pada pernikahan kedua ini mereka lebih banyak hidup terpisah. Pada tahun 1941, Frida kehilangan ayahnya tercinta dan mengidap beberapa penyakit kronis.
Pada tahun 1944, Frida melukis salah satu potretnya yang paling terkenal, The Broken Column. Dalam lukisan ini, Frida melukis dirinya setengah telanjang dan tubuhnya terbelah dari leher hingga bawah perut. Tulang punggungnya digambarkan seolah-olah tiang kolom yang rusak. Persis seperti penyakit fisik yang dialaminya saat itu, tulang punggungnya rapuh hingga harus memakai korset khusus untuk melindungi tulang punggungnya yang rapuh. Dia telah menjalani beberapa operasi dan perawatan medis untuk tulang punggungnya, tapi tidak ada yang benar-benar membantu menyembuhkannya.
Kondisi kesehatannya semakin memburuk pada tahun 1950. Saat itu, Frida didiagnosa adanya gangrene pada kaki kanannya. Dia harus berbaring dan tinggal di rumah sakit selama 9 bulan untuk menjalani serangkaian operasi. Tapi, hal itu tidak menggoyahkan semangatnya untuk melukis. Dia tetap melukis dan menghasilkan beberapa karya. Pada tahun 1953 dia mengadakan pameran tunggal di Meksiko. Meskipun dia memiliki keterbatasan, dia tetap hadir pada acara pembukaan pameran. Dia tiba dengan ambulans dan menyambut para peserta dengan tetap terbaring di ranjang.
       Beberapa bulan kemudian, Frida menjalani operasi lagi. Kali ini, dia harus merelakan kaki kanannya diamputasi untuk menghentikan penyebaran gangrene. Dengan kondisi yang semakin buruk, dia sangat tertekan. Bahkan kabarnya, dia mencoba untuk bunuh diri. Sekitar seminggu setelah ulang tahunnya yang ke-47, Frida Kahlo meninggal di Blue House (Casa Azul). Secara terbuka, dia dilaporkan meninggal karena emboli paru, tapi ada spekulasi yang mengatakan bahwa dia mungkin meninggal karena bunuh diri.



Senin, 24 November 2014

Memahami Lukisan : Self Portrait with Bandaged Ear and Pipe (van Gogh)

"Self Portrait with Bandaged Ear and Pipe" karya Vincent van Gogh (1889)

Semuanya telah berlalu
Gelasnya sudah pecah
Buburnya tak mungkin kembali menjadi nasi
Penyesalan di hati hanya akan membuatku semakin mati
Tentang malam itu
Hanya kau dan aku yang tahu
Selamanya aku akan tetap bungkam
Kau pun juga harus diam
Biarkan semua berlalu
Biarkan orang-orang menyalahkanku
Memang aku yang salah
Tidak bisa menjadi kawan yang sempurna

MEMAHAMI LUKISAN:
                Lihatlah ekspresi wajah van Gogh dalam self portrait di atas, memendam kesedihan yang mendalam. Kedua matanya lesu memandangi dirinya yang menyedihkan di dalam cermin. Mungkin ada sebagian dari kalian yang akan bertanya, mana cerminnya? Vincent van Gogh melukis dirinya dengan menggunakan bantuan cermin, untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek lukisan. Memang kalian tidak akan melihat cerminnya, karena van Gogh hanya melukis bayangan dirinya di cermin.
Coba kalian lihat telinganya yang diperban, itu telinga kiri atau kanan? Kalian pasti akan menjawab, itu pasti telinga kanan. Tapi faktanya, pada insiden pemotongan telinga yang terjadi pada van Gogh pada tahun 1888, yang terpotong itu adalah telinga kirinya. Lalu, kenapa dia melukisnya, seolah telinga kanannya yang diperban? Karena itu tadi, dia melukis bayangan dirinya di cermin.

"Self Portrait as An Artist", karya Vincent van Gogh (1888)
                Lukisan di atas ini contoh yang lain kalau Vincent van Gogh menggunakan cermin untuk “menyalin” dirinya ke dalam kanvas. Jika kita lihat tangan kanannya memegang palet, maka tangan yang melukis pasti yang kiri. Itu berarti dia kidal. Tapi, tidak, van Gogh bukanlah seorang yang kidal. Vincent van Gogh adalah seorang pelukis yang selalu ingin mengekspresikan bakatnya setiap waktu. Tapi, kurang punya modal untuk menyewa model untuk menjadi subjek lukisannya. Makanya, banyak dari lukisannya dengan objek still life, landcape, ataupun dirinya sendiri sebagai subjeknya.

                Kita kembali ke lukisan pertama, kesedihan mendalam yang dirasakan van Gogh melebihi sakit yang dirasakannya pada telinganya. Kesedihan itu terpancar dari tatapan matanya. Tatapan yang haus belas kasih. Kegiatan melukis dan merokok yang dilakukannya saat itu belum bisa menenangkan hatinya yang tak hentinya bergejolak. Benci, rindu, malu, rasa bersalah, dan kecewa bergantian menyerang benaknya. Apa gerangan yang merisaukan hatimu?


FAKTA DI BALIK “PACT OF SILENCE”:
Lukisan ini dilukis oleh Vincent van Gogh pada tahun 1889, setelah insiden terpotongnya telinga kiri van Gogh. Insiden itu terjadi pada akhir tahun 1888. Jika dilihat dari perban yang masih terpasang, mungkin lukisan ini dilukis pada awal tahun 1889.
Kisah awalnya bermula saat keinginan Vincent van Gogh pindah ke Arles untuk memulai mimpinya melukis di sebelah selatan Perancis. Dia menyukai pemandangannya, cahayanya, dan orang-orangnya. Langkah pertamanya adalah mencari tempat untuk dijadikan studio. Dia menemukan sebuah rumah kecil (dikenal dengan Yellow House) beralamat di Place Lamartine No. 2 yang kemudian disewanya dengan biaya 15 francs per bulan.
Langkah berikutnya adalah menemukan seorang pelukis lainnya yang mau tinggal bersama dan melukis bersama. Kakak Vincent, Theo, membantunya mempertemukannya dengan Paul Gauguin, seorang pelukis berkebangsaan Perancis yang akan tinggal bersamanya. Paul Gauguin tiba pada tangal 23 Oktober, dan bertemu dengan Vincent di depan pintu Yellow House pada pagi hari.
Dalam beberapa minggu mereka tinggal bersama, makan bersama, minum bersama, dan melukis bersama. Vincent dan Gauguin, keduanya memiliki ketertarikan yang sama pada aliran Impressionisme. Mereka melukis subjek yang sama. Mereka melukis berdampingan, saling menunjukkan bagaimana mereka bisa melukis subjek yang sama dengan cara yang berbeda.
Kebahagiaan mereka tidak berlangsung untuk waktu yang lama. Akhirnya Gauguin merasa sulit untuk hidup dengan Vincent. Gauguin merasa bahwa mereka telah mencapai semuanya, tapi pandangannya tentang seni menjadi semakin berbeda dengan pandangan Vincent. Situasi ini menjadikan keduanya semakin stres. Hingga pada bulan Desember 1888, Gauguin berniat untuk pergi. Inilah yang kemudian memicu terjadinya insiden pemotongan telinga kiri Vincent van Gogh.
Ada 2 versi yang beredar hingga kini. Versi yang resmi (dari kepolisian setempat) menyebutkan bahwa Vincent van Gogh memotong telinganya sendiri dengan menggunakan pisau cukur. Dari kesaksian Gaugin, pada malam tanggal 23 Desember saat dia mengatakan keinginannya untuk pindah kepada Vincent, Vincent merasa sangat terpukul. Saat Gauguin hendak keluar rumah untuk jalan-jalan, dia mendengar jejak kaki Vincent mendekat. Dia kemudian berbalik untuk melihat, dia melihat Vincent berjalan ke arahnya dengan pisau cukur di tangannya. Vincent tiba-tiba berhenti, menundukkan kepalanya, dan dengan cepat kembali masuk. Malam itu, Gauguin tidak pulang ke Yellow House, melainkan menginap di hotel. Barulah keesokan harinya dia kembali ke Yellow House dan mendapati rumah kecil itu sudah ramai dikerumuni polisi dan orang-orang yang banyak. Didapatinya Vincent berlumuran darah di atas ranjangnya. Awalnya mereka mengira Vincent telah mati. Tapi setelah diperiksa, ternyata Vincent masih hidup. Gauguin meminta kepada polisi untuk membangunkannya perlahan, dan untuk katakan kepadanya bahwa dia sudah kembali ke Paris  jika Vincent menanyakan tentang dirinya.
Versi lainnya datang dari para sejarawan yang kembali mengkaji ulang kasus ini. Menurut mereka, versi resmi sebagian besar berdasar kepada kesaksian Gauguin yang mengandung inkonsistensi. Ada banyak petunjuk dari kedua pelukis yang dapat mengungkapkan kebenaran kisahnya.
Hans Kaufmann, salah satu penulis dari buku “Pact des Schweigens” (Pact of Silence) mengatakan,  “Kami sangat hati-hati mengumpulkan kembali laporan dari para saksi dan surat-surat yang ditulis oleh keduanya. Dan kami sampai pada kesimpulan bahwa Vincent van Gogh sangat marah atas rencana Gauguin untuk kembali ke Paris setelah mereka menghabiskan waktu bersama di Yellow House di Arlen.  Pada malam 23 Desember 1888 Vincent van Gogh diserang penyakit metabolic, menjadi sangat agresif ketika Gauguin mengatakan bahwa dia akan meninggalkan Vincent untuk kebaikannya. Suasana menjadi memanas ketika itu berada di dekat rumah bordil dan Vincent mungkin telah menyerang temannya. Gauguin, yang ingin membela diri dan ingin menyingkirkan ‘orang gila’ yang menyerangnya, berusaha merampas senjatanya dan mengarahkannya ke arah Vincent. Dengan itulah dia memotong telinga kirinya.”
Kaufmann menambahkan, “Kami tidak tahu pasti apakah pukulan itu kecelakaan atau upaya sengaja untuk melukai Vincent van Gogh. Tapi itu gelap, dan kami hanya menduga bahwa Gauguin tidak bermaksud untuk memukul temannya. Gauguin meninggalkan Arles keesokan harinya, dan keduanya tidak pernah bertemu satu sama lain lagi.”
Dalam surat pertama yang Vincent van Gogh tulis setelah insiden ini, dia berkata kepada Gauguin, “Saya akan bungkam tentang hal ini, dan begitu juga kau.” Yang tampaknya merupakan awal dari “Pact of Silence”
Bertahun-tahun kemudian, Gauguin menulis surat untuk temannya yang lain. Dia berkata tentang van Gogh, “Seorang pria dengan bibir tertutup, saya tidak bisa mengeluh tentang dia.
Kaufmann juga mengutip korespondensi antara Vincent van Gogh dan kakaknya Theo, di mana pelukis mengisyaratkan apa yang terjadi malam itu, yang tanpa sadar telah melanggar ‘kesepakatan diam’, dia menulis bahwa, “Beruntung Gauguin tidak memiliki senapan mesin atau senjata api lainnya, karena dia lebih kuat daripada saya dan gairah/semangat (passions)-nya juga lebih kuat.
 “Ada banyak petunjuk dalam dokumen yang kami punya yang membuktikan bahwa versi ‘menyakiti diri’ tidak benar. Tapi, dari sejauh yang saya ketahui, tak satupun dari teman-teman yang pernah memecahkan ‘Pact of Silence’,” kata Kaufmann yang menunjukkan bahwa cerita tentang telinga van Gogh perlu ditulis ulang.